Macam-Macam Evaluasi Pembelajaran

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Evaluasi program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merealisasi atau mengimplementasi dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang guna pengambilan keputusan. Evaluasi program bertujuan untuk mengetahui pencapaian tujuan program yang telah dilaksanakan. Selanjutnya, hasil evaluasi program digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan tindak lanjut atau untuk melakukan pengambilan keputusan berikutnya. Evaluasi  sama artinya dengan kegiatan supervisi. Kegiatan evaluasi/supervisi dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari program yang telah dilaksanakan. Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program.
Dalam evaluasi program, pelaksana (evaluator) ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu hal sebagai hasil pelaksanaan program setelah data terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu. Dalam evaluasi program, pelaksana (evaluator) ingin mengatahui tingkat ketercapaian program, dan apabila tujuan belum tercapai pelaksana (evaluator) ingin mengetahui letak kekurangan dan sebabnya. Hasilnya digunakan untuk menentukan tindak lanjut atau keputusan yang akan diambil. Dalam kegiatan evaluasi program, indikator merupakan petunjuk untuk mengetahui keberhasilan atau ketidakberhasilan suatu kegiatan.
Evaluator program harus orang-orang yang memiliki kompetensi, di antaranya mampu melaksanakan, cermat, objektif, sabar dan tekun, serta hati-hati dan bertanggung jawab. Evaluator dapat berasal dari kalangan internal (evaluator dan pelaksana program) dan kalangan eksternal (orang di luar pelaksana program tetapi orang yang terkait dengan kebijakan dan implementasi program). Model evaluasi merupakan suatu desain yang dibuat oleh para ahli atau pakar evaluasi. Dalam melakukan evaluasi, perlu dipertimbangkan model evaluasi yang akan dibuat. Biasanya model evaluasi ini dibuat berdasarkan kepentingan seseorang, lembaga atau instansi yang ingin mengetahui apakah program yang telah dilaksanakan dapat mencapai hasil yang diharapkan.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1.      Apa pengertian model evaluasi program?
2.      Apa saja moel-model evaluasi program?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian model evaluasi program.
2.      Untuk mengetahui model-model evaluasi program.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Jenis Model Evaluasi
Kata model, berarti pola, rencana, contoh dari sesuatu yang akan dibuat atau dilakukan, atau dihasilkan. Model evaluasi merupakan penjabaran teori evaluasi dalam praktik melaksanakan evaluasi. Suatu model evaluasi mengemukakan pengertian mengenai evaluasi dan proses bagaimana melaksanakannya. Model evaluasi membedakan antara evaluasi dengan penelitian murni dan penelitian terapan lainnya. Hanya evaluasi yang mempergunakan model evaluasi dalam melaksanakan penelitian.
Yaya dan Nandang (2009) menyatakan bahwa model adalah abstraksi suatu entitas dimana abstraksi adalah penyederhanaan bentuk asli dan entitas adalah suatu kenyataan atau keadaan keseluruhan suatu benda, proses atau kejadian.
Sasmojo (2003) mengungkapkan  bahwa model adalah deskripsi struktur suatu fenomena yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk media yang dapat dikomunikasikan. Dalam hubungan ini terdapat beragam model, yaitu (Yaya dan Nandang, 2009) :
1.      Model fisik, yaitu menggambarkan entitas dalam bentuk tiga dimensi
2.      Model naratif, yaitu mengambarkan entitas dalam bentuk lisan atau tulisan
3.      Model grafik, menggambarkan entitas dalam bentuk garis dan simbol
4.      Model matematik, yaitu menggambarkan entitas dengan menggunakan rumus-rumus persamaan tentang keterkaitan variabel
Tentang hal ini, van Noorwick dan Lusiana (1999) dan Simamarta (1983), merincinya sebagai berikut :
1.      Model menurut fungsi terbagi atas :
a)      Model deskriptif, model ini menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan permasalahan
b)      Model prediktif, model ini menunjukkan apa yang akan terjadi, bila sesuatu terjadi
c)      Model normatif, model ini menyediakan jawaban terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil.
2.      Model menurut struktur :
a)      Model ikonik, adalah model yang menirukan sistem aslinya, tetapi dakam suatu skala tertentu.
b)      Model analog, adalah suatu modelyang menirukan sistem aslinya, dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan bendaa atau sistem lain secara analog.
c)      Model simbolis, adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.
3.      Model menurut refrensi waktu :
a)      Model statis, model statis tidak memasukan faktor waktu dalam perumusannya.
b)      Model dinamis, mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.
4.      Model menurut refrensi kepastian :
a)      Model deterministik,  dalam model ini pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik, yang merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti.
b)      Model probabilistik, menyangkut distribusi probabilistik dari input atau proses dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut.
c)      Model game, teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam menghadapi situasi tidak pasti.

Model evaluasi diawali oleh model evaluasi berbasis tujuan. Dibawah ini dibahas prinsip-prinsip dasar model-model evaluasi, sebagai berikut:

a.      Model evaluasi berbasis tujuan (Goal Based Evaluation Model)
Menurut Ralph W. Tyler evaluasi merupakan proses menentukan sampai seberapa tinggi tujuan pendidikan sesungguhnya dapat dicapai. Misalnya kurikulum suatu mata pelajaran mempunyai tujuan tertentu berupa kompetensi dan perilaku yang akan dicapai oleh guru dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut. Menurut Scriven evaluasi berbasis tujuan adalah setiap jenis evaluasi berdasarkan pengetahuan dan direferensikan kepada tujuan-tujuan program, orang, atau produk.
Model evaluasi berbasis tujuan secara umum mengukur apakah tujuan yang ditetapkan oleh kebijakan, program atau proyek dapat dicapai atau tidak. Model evaluasi iini memfokuskan pada mengumpulkan info yang bertujuan mengukur pencapaian tujuan kebijakan, program dan proyek untuk pertanggung jawaban dan pengambilan keputusan.
Model evaluas berbasis tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses sebagai berikut :
1)      Mengidentifikasi tujuan
Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau objektif intervensi layanan dari program yang tercantum dalam rencana program.
2)      Merumuskan tujuan menjadi indicator-indikator
Evaluator merumuskan tujuan program menjadi indicator-indikator kuantitatif dan kualutatif yang dapat diukur. Misalnya, tujuan program orang tua tunggal adalah memberikan dukungan kepada 250 orang tua tunggal disuatu kota agar dapat mengembangkan anak-anak mereka. Untuk itu pemerintah memberikan layanan (indikator-indikator tujuan program) sebagai berikut :
·         Bantuan biaya hidup setiap bulan
·         Sekolah gratis kepada anak
·         Berobat gratis kepada orang tua tunggal dan anaknya.
3)      Mengembangkan metode dan instrumen untuk menjaring data
Evaluator menentukan apakah akan menggunakan metode kuantitatif atau kualitatif atau campuran, mengembangkan instrumen untuk menjaring data, jenis instrument tergantung pada metode yang dipergunakan.
4)      Memastikan program telah berakhir dalam mencapai tujuan.
Layanan, intervensi dari program telah dilaksanakan dan ada indikator mencapai pencapaian tujuan, pengaruh atau perubahan yang diharapkan.
5)      Menjaring dan menganalisis data info mengenai indikator-indikator program.
Menjaring dan menganalisis data atau mengenai semua indikator program.
6)      Kesimpulan
Mengukur hasil pencapaian program atau pengaruh intervensi atau perubahan yang diharapkan dari pelaksanaan program dan membandingkan dengan objektif yang direncanakan dalam rencana program untuk menentukan apakah terjadi ketimpangan.
Hasil yang didapat sebagai berikut :
·         Program dapat mencapai objektif sepenuhnya.
·         Program dapat mencapai sebagian dari objektifnya antara 50%-99,9%.
·         Program mencapai objektif dibawah 50%.
·         Program gagal mencapai objektif.
7)      Mengambil kaputusan mengenai program.
Keputusan dapat berupa :
·         Jika program dapat mencapai tujuannya sepenuhnya, mungkin program dilanjutkan atau dilaksanakan didaerah lain jika sebelumnya hanya dilaksanakan di daerah tertentu.
·         Dapat juga terjadi jika program berhasil sepenuhnya dan masyarakat yang dilayani tidak memerlukan bagi layanan program dihentikan.
·         Jika program ternyata gagal akan tetapi masih diperlukan layanan oleh sebagian besar masyarakat, maka program dianalisis penyebab kegagalan dan kemudian dikembangkan atau dimodifikasi.
Keunggulan Model evaluasi berbasis tujuan / Goal Based Evaluation Model :
·         Demoktatis : tujuan, layanan atau intervensi program merupakan hasil keputusan formal dari lembaga negara yang dipilih secara demokratis.
·         Imparsial : evaluasi merupakan bagian dari riset sosial yang bersifat imparsial tidak memihak.
·         Sederhana : proses merancang dan melaksanakan modal evaluasi berbasis tujuan mudah merancang dan melaksanakannya.

Kelemahan Model evaluasi berbasis tujuan / Goal Based Evaluation Model :
·         Tujuan tidak mudah dipahami : sejumlah tujuan yang terpisah / dapat bertentangan satu sama lain, tujuan ambigius, dan dapat juga terjadi tujuan program tidak jelas.
·         Suatu tujuan berkaitan dengan ketidakpastian masa depan : tujuan disusun tidak untuk saat tujuan disusun, tapi juga untuk masa depan.
·         Efek samping dari tujuan : ketika aktivitas program dilaksanakan untuk merealisasikan tujuan dapat terjadi pengaruh.
·         Tujuan tersembunyi dari pengambil kebijakan.

b.      Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free Evaluation Model)
Model evaluasi bebas tujuan adalah model evaluasi dimana evaluator melakukan evaluasi tanpa mempunyai penegtahuan atau referansi dari gold an objektif serta pengaruh yang diharapkan oleh perancang program. Model ini berupaya mengukur keluaran dan pengaruh yang sesungguhnya tanpa dipengaruhi oleh tujuan dan pengaruh yang diharapkan dalam rencana program.
Pengaruh program :
                           1.         Pengaruh sampingan yang negative yang tidak diharapkan.
                           2.         Pengaruh positif sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
                           3.         Pengaruh sampingan yang positif di luar tujuan program yang ditetapkan.
Brandon W. Youker dan Allyssa Ingraham (2013) mengungkapkan 4 langkah untuk menemukan goal dan pengaruh – pengaruh program yang sesungguhnya dalam modal evaluasi ini :
1.      Meneliti dan mengidentifikasi pengaruh program yang relevan tanpa merajuk gold an objektif yang ada direncanakan program.
2.      Mengidentifikasi apa yang terjadi tanpa referensi kepada gold an efektif program.
3.      Menentukan pengaruh apa yang muncul yang secara logis disebabkan oleh program dan intervensi program.
4.      Menentukan derajat pengaruh positif, negative atau netral dari program.

c.       Model Evaluasi Formatif dan Sumatif
                                 1.         Evaluasi Formatif sebagai evaluasi yang didesain dan dipakai untuk memperbaiki suatu objek, terutama ketika objek tersebut sedang dikembangkan. Istilah evaluasi formatif (formative evaluation) dan evaluasi sumatif (summative evaluation) diperkenalkan oleh Michael Scriven pada tahun 1967 yang awalnya ia menggunakan istilah outcome evaluation of an intermediate stage in development of teaching instrument (Michael Scriven 1967). Menurut Scriven evaluasi formatif merupakan loop balikan dalam memperbaiki produk. The Program Evaluation Standards (1994) mendefinisikan evaluasi formatif sebagai evaluasi yang didesain dan dipakai untuk memperbaiki suatu objek, terutama ketika objek tersebut sedang dikembangkan. Dalam proses pembelajaran mata pelajaran atau mata kuliah evaluasi formatif dilaksanakan dalam bentuk ujian tengah semester. Sedangkan dalam evaluasi program atau proyek dilaksanakan sesuai dengan termin kontak kerja. Misalnya, jika dalam konrak pelaksanaan evaluasi ada termin kerja 25%, 50%, dan 75% maka evaluasi formatif harus dilaksanakan 3 kali untuk mengukur pencapaian kinerja ketiga termin tersebut.
            Evaluasi formatif dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
·         Untuk mengukur hasil pelaksanaan program secara periodik.
·         Untuk mengukur apakah klien partisipasi bergerak kearah yang direncanakan.
·         Untuk mengukur apakah sumber-sumber telah dipergunakan sesuai dengan rencana.
·         Untuk menentukan koreksi apa yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan memperbaiki balikan, memberikan balikan secara terus-menerus untuk memperbaiki perencanaan, standar prosedur operasi, pengangguran sumber-sumber dan perkembangan pelaksanaan program.
                                 2.         Evaluasi Sumatif sebagai evaluasi yang digunakan unutk mengukur kinerja akhir objek evaluasi. Evaluasi Sumatif dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
·         Menentukan kesuksesan keseluruhan program
·         Menentukan apakah / tidak gol spesifik dan objektif telah dicapai.
·         Menentukan komponen mana paling efektif dan komponen mana yang kurang efektif.
·         Menentukan apakah ada keluaran yang tidak diantisipasi.
·         Menentukan cost benefit program.
·         Mengkomunikasiakn temuan evaluasi kepada para pemangku kepentingan program.
        Evaluasi suamtif untuk mengukur indikator-indikator sebagai berikut :
·         Hasil dan pengaruh layanan / intervensi program.
·         Mengukur presepsi partisipasi mengenai layanan dan intervensi program.
·         Menentukan cost effectiveness, cost efficiency, dan cost benefit.

d.      Evaluasi Responsif
Model evaluasi responsif dikembangkan pada tahun 1975 oleh Robert Stake (1975). Pada awalnya Stake menamai model evaluasi ini Countenance Of Educational Evaluation. Daniel L Stufflebeam dan Anthony J Shinfield (1985) memberi nama model ini sebagai Client-centered Evaluation atau evaluasi yang berpusat pada klien.
Menurut Stake evaluasi disebut responsive jika memenuhi 3 kriteria sebagai berikut :
·         Lebih berorientasi secara langsung kepada aktivitas program daripada tujuan program
·         Merespon kepada persyaratan kebutuhan informasi dari audiens
·         Perspektif nilai-nilai yang berbeda dari orang-orang yang dilayani dilaporkan dalam kesuksesan dan kegagalan dari program.
Evaluator melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para administrator sekolah, pengembangan kurikulum, pembayar pajak, para legislator dan masyarakat umumnya yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan. Para evaluator harus berinteraksi secara terus-menerus dengan kliennya untuk merespons kebutuhan kliennya.
Menurut stake evaluator pendidikan harus bekerja untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik dan menyajikan layanan pendidikan.
Langkah-langkah model evaluasi responsif :
a)      Evaluator mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap pemangku kepentingan.
b)      Melakukan dengar pendapat dengan pemangku kepentingan.
c)      Menyusun proposal evaluasi
d)     Membahas hasil evaluasi
e)      Membahas hasil evaluasi dengan pemangku kepentingan
f)       Pemanfaatan hasil evaluasi

e.       Model CIPP (context, input, process and product) :
Stuflebeam (Tayibnapis, 2008) mengartikan evaluasi sebagai proses menggambarkan, memperoleh dan menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan. Karena itu, ia membagi evaluasi dalam empat macam, yaitu :
a)      Context evaluation to serve planning decision yang berkaitan dengan tujuan program.
b)      Input evaluation structuring decision, yang berkaitan dengan sumberdaya, alternatif pemanfaatannya, serta prosedur kerja untuk mencapai tujuan.
c)      Process evalution to serve implementing decision, yang berkaitan dengan proses untuk mengimplementasikan keputusan.
d)     Product evalution to serve recycling decison,yang berkaitan dengan tindak lanjut keputusan.
Tentang hal ini, lebih lanjut Sutopo (2002) menyatakan bahwa :
a)      Context, berkaitan dengan beberapa faktor dan kondisi  sebelum kegiatan dilaksanakan.
b)      Input, adalah masukan yang diberikan sebagai  persiapan sebelum pelaksanaan program.
c)      Process, yaitu program dilaksanakan sejak awalnya dengan pendekatan sesuai konteksnya, dan merupakan proses yang tepat untuk tercapainyatujuan.
d)     Product, yaitu kualitas hasil kegiatan yang dapat dicapai.

Daniel Stufflebeam (2002,2003) mengembangkan 10 checklist sebagai panduan evaluator, klien dan pemangku kepentingan sebagai berikut :

1)      Kesepakatan kontrak
Para evaluator CIPP perlu menetapkan landasan kesepakatan dengan klien dan kesepakatan tersebut harus diupdate jika diperlukan sepanjang proses evaluasi.
Aktivitas evaluator :
·         Menegmbangkan suatu pemahaman yang jelas mengenai pekerjaan yang akan dilakukan.
·         Memastikan kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak akan informasi akan diperoleh
·         Menjelaskan kepada klien secara umum analisis kualitatif dan kuantitatif apa diperlukan untuk membuat suatu asesmen penuh program.
Aktivitas klien atau pemangku kepentingan :
·         Menejelaskan kepada para evaluator apa yang akan dievaluasi,untuk tujuan apa, berdasarkan criteria apa, dan siapa audiensnya.
·         Menjelaskan kepada para evaluator informasi apa yang esesnsial bagi evaluasi dan bagaimana kelompok klien akan memberi fasilitas untuk pengumpulan informasi tersebut.
·         Mencapai kesepakatan dengan evaluator mengenai kesepakatan apa yang paling penitng dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan kelompok klien.

2)      Evaluasi konteks
Evaluasi konteks mengakses kebutuhan-kebutuhan, asset, dan problem-problem dalam lingkungan yang terdefinisi. Aktivitas evaluator dan pemangku kepentingan serta tujuan program mempunyai penjelasan yang sama bahwa, dalam evaluasi sumatif, evaluasi CIPP berupaya mendapatkan tambahan informasi untuk menjawab pertanyaan seperti, Apakah kebutuhan penting ditangani dengan baik? Apakah upaya dipandu oleh suatu rencana dan anggaran yang dapat dipertahankan? Apakah desain layanan dilaksanakan secara lengkap dan dimodifikasi jika diperlukan? Apakah upaya yang dilakukan sukses?

3)      Evaluasi Masukan
Evaluasi Input menjaring, menganalisis dan menilai mengenai strategi, rencana kerja dan anggaran berbagai pendekatan. Evaluator dan klien dan pemangku kepentingan lainnya sebagai berikut:
a.       Aktivitas Evaluator
·         Mengidentifikasi dan meneliti program lain yang ada yang dapat dipergunakan sebagai model untuk program yang direncanakan.
·         Menilai strategi program yang diusulkan mengenai keresponan terhadap kebutuhan dan feasibilitasnya.
·         Menilai anggaran program untuk menentukan kecukupannya dalam membiayai pekerjaan yang dibutuhkan
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan perencanaan program
·         Memakai temuan evaluasi masukan untuk merencanakan suatu strategi program yang secara saintifik, ekonomi, social, politik dan teknologi dapat dipertahankan.
·         Memakai temuan evaluasi masukan untuk memastikan bahwa strategi program memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh yang memperoleh keuntungan yang ditargetkan.
·         Memakai temuan evaluasi masukan untuk mendukung permintaan pendanaan untuk kegiatan yang direncanakan.

4)      Evaluasi Proses
      Evaluasi proses memonitor, mendokumentasikan dan menilai aktivitas program. Aktivitas evaluator, klien dan pemangku kepentingan lainnya sebagai berikut :
a.       Aktivitas evaluator
·         Mengumpulkan dan menilai sampai seberapa tinggi individu dan kelompok yang dilayani, membuat catatan mengenai kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mencatat layanan program yang mereka terima.
·         Menentukan sampai seberapa banyak program mencapai suatu kelompok penerima layanan yang tepat.
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan manajemen dan mendokumentasikan
·         Memakai temuan evaluasi proses untuk mengontro dan memperkuat aktifitas staf
·         Memakai temuan evaluasi proses untuk memperkuat desain program
5)      Evaluasi pengaruh (Impact Evaluation)
Evaluasi pengaruh menjaring dan menilai data mengenai program yang mencapai program yang mencapai audients yang ditargetkan. Aktivitas evaluator dan klien/pemangku kepentingan sebagai berikut:
a.       Aktivitas evaluator
·         Mengakses dan membuat penilaian mengenai sampai seberapa tinggi individu dan kelompok yang memperoleh layanan konsisten dengan kemanfaatan program yang direncanakan.
·         Menentukan sampai seberapa tinggi program mencapai kelompok penerima manfaat yang tepat.
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan mengontrol siapa yang mendapat layanan
·         Memakai temuan evaluasi pengaruh untuk memastikan bahwa program mencapai para penerima manfaat yang direncanakan.
·         Memakai temuan evaluasi pengaruh untuk menilai apakah program mencapai atau tidak mencapai penerima manfaat yang tidak tepat.

6)      Evaluasi efektifitas
Evaluasi efektifitas program meneliti dan menilai signifikasi manfaat (outcome). Aktivitas dari evaluator dank lien sebagai berikut:
a.       Aktivitas evaluator
·         Melakukan studi kasus secara mendalam mengenai penerimaan manfaat tertentu.
·         Menugaskan anggota tim evaluasi untuk mengumpulkan dan menilai informasi mengenai pengaruh-pengaruh program terhadap penerima manfaat.
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan-mengakses/melaporkan manfaat
·         Memakai temuan-temuan evaluasi efektifitas untuk menimbang pengaruh positif dan negative program terhadap penerima manfaat.
·         Memakai temuan evaluasi efektivitas untuk mengukur pengaruh positif dan negative dari program terhadap masyarakat/lingkungan yang berkaitan.
7)      Evaluasi keberlanjutan
Evaluasi ini menjaring, menganalisis dan menilai sampai seberapa tinggi kontribusi program sukses diinstitusionalisasikan dan terus berlanjut bersamaan dengan perkembangan waktu.
a.       Aktivitas evaluator
·         Mewawancarai para pemimpin dan staf program untuk mengidentifikasi penilaian mereka mengenai program sukses dan apa yang harus dilanjutkan.
·         Mewawancarai para penerima manfaat untuk mengidentifikasi penilaian mereka mengenai program yang sukses dan apa yang harus dilanjutkan
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan praktik kesuksesan terus menerus
·         Memakai temuan-temuan evaluasi keberlanjutan untuk menetapkan apakah staf dan para penerima manfaat lebih menyukai keberlanjutan program.
·         Memakai temuan-temuan evaluasi keberlanjutan sebagai jaminan untuk menentukan tujuan-tujuan dan rencana untuk melanjutkan aktifitas-aktifitas.
8)      Evaluasi transforbilitas
Evaluasi ini mengakses sampai seberapa jauh suatu program telah atau dapat secara sukses menyesuaikan diri atau diterapkan ditempat lainnya.
a.       Aktivitas evaluator
·         Mengaktifkan staf program dalam mengidentifikasi pengadopsian program secara actual atau potensial dengan membuat suatu log penelitian,para tamu, dan pengadopsian program.
·         Mengunjungi dan menilai adaptasi dari program
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan – diseminasi
·         Memakai temuan-temuan evaluasi transportabilitas untuk menilai kebutuhan untuk diseminasi informasi mengenai program
·         Memakai temuan-temuan evaluasi transporbilitas untuk membantu menentukan audient untuk informasi bagi program
9)      Evaluasimeta
Evaluasimeta merupakan asesmen suatu ketaatan evaluasi kepada standar-standar yang terkait dari evaluasi yang baik.
a.       Aktivitas evaluator
·         Mendorong dan mendukung klien untuk memperoleh asesmen independen mengenai rencana evaluasi, proses, dan/atau laporan-laporan evaluasi
·         Mendokumentasikan proses dan temuan-temuan evaluasi, sehingga evaluasi dapat diteliti dan dievaluasi dengan teliti.
b.      Aktivitas/klien pemangku kepentingan –menilai evaluasi
·         Mempertimbangkan mengontrak untu suatu asesmen independen mengenai evaluasi.
·         Menyimpan suatu file informasi yang berkaitan dengan penilaian evaluasi berdasarkan kesepakatan kepada standar evaluasi dan prinsip pedoman.
10)  Sintesis laporan final
Menarik bersama-sama temuan evaluasi untuk menjelaskan kepada semua audiens mengenai apa yang diupayakan, dilakukan dan dicapai. Pelajaran apa yang diperlukan dan dasar asesmen dari program.
a.       Aktivitas evaluator
·         Mengorganisir laporan agar memenuhi kebutuhan yang berbeda dari audien yang berbeda, misalnya menyediakan tiga laporan menjadi satu, termasuk program yang mendahului, pelaksanaan program, dan hasil-hasil program
·         Meneruskan contoh, pada laporan program yang mendahului meliputi seksi-seksi yang mempunyai ciri sendiri mengenai organisasi yang menyesponsori program, asal-usul program yang sedang dievaluasi, dan lingkunganprogram
b.      Aktivitas klien/pengaruh kepentingan-menyimpulkan
·         Membantu memastikan bahwa isi laporan yan direncanakan akan memohon kepada dan dapat dipakai oleh berbagai jenis audiens
·         Membantu memastikan bahwa laporan historical yang dikemukakan dalam laporan program yang mendahului akurat, cukup ringkas, dan dalam interes dan memakai paling tidak sejumlah audient untuk laporan menyeluruh
f.       Model Evaluasi Adversary
Salah satu model evaluasi yang menyerupai proses pengadilan atau proses yudisial adalah model evaluasi adversary. Tujuan utama dari model evaluasi adversary adalah untuk mengurangi potensi bias dengan membentuk 2 evaluator yang berbeda. Kedua eevaluator-evaluator pro dan kontra sepakat mengenai isu yang akan diselesaikan dan menyimpang pangkalan dara umum mengenai isu tersebut kemudian melakukan pengumpulan data khusus sesuai dengan tugas keduanya.
Model evaluasi adversary mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Model evaluasi menyediakan berbagai alternative dalam pengambilan keputusan seperti alternative perumusan masalah evaluasi, dan alternative penilaian dan kesimpulan evaluasi. Tersedianya alternative tersebut dievaluasi oleh pengambilan keputusan kemudian memilih salah satu alternative yang terbaik. Dengan demikian, keputusannya mengenai program juga merupakan keputusan yang tepat.

g.      Model Evaluasi Ketimpangan
Konsep evaluasi ketimpangan hamper sama dengan konsep Goal Based Evaluatio Model yang dikemukakan oleh Ralph Tyler. Menurut model ini, evaluasi memerlukan enam langkah untuk melaksanakannya :
a)      Mengembangkan suatu desain dan standar-standar yang menspesifikasi karakteristik-karakteristik implementasi ideal dari evaluand (objek evaluasi) : kebijakan, program atau proyek.
b)      Merencanakan evaluasi menggunakan model evaluasi diskrepansi. Menentukan informasi yang diperlukan untuk membandingkan untuk membandingkan implementasi yang sesungguhnya dengan standar yang mendefinisikan kinerja obek evaluasi.
c)      Menjaring kinerja objek evaluasi yang meliputi pelaksanaan program, hasil-hasil kuantitatif dan kualitatif.
d)     Mengidentifikasi kepentingan-kepentingan antara standar-standar dengan pelaksanaan dengan hasil-hasil pelaksanaan objek evaluasi yang sesungguhnya dan menentukan rasio ketimpang.
e)      Menentukan penyebab ketimpangan dengan membandingkan antara standar kinerja dengan kinerja objek evaluasi
f)       Menghilangkan ketimpangan dengan membuat perubaha-perubahan terhadap implementasi objek evaluasi
Model evaluasi ketimpangan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pertama dari model evaluasi provus adalah :
a)      Model evaluasi ketimpangan sederhana dan mudah dilaksanakan. Model ini hanya membandingkan kinerja program dengan standar kinerja yang jelas didefinisikan dan diformulasikan
b)      Model ini memperkenalkan konsep manajemen informasi, prose ruangan kelas dan pentingnya membangun pangkalan data yang menghubungkan karakteristik siswa dan kinerja para siswa.
c)      Model ini megembangkan hubungan yang terus-menerus antara staf evaluator permanen dan perencana dan pengembangan program.
d)     Model ini menggunakan evaluasi formatif untuk merevisis dan mengoreksi program untuk mengarahkan kembali pada awal pengembangan dan instansi program
Kelemahan dari model evaluasi ketimpangan antara lain :
a)      Untuk melakukan model ini memerlukan waktu yang panjang karena pertanyaan yang harus dijawab secara berurutan untuk sampai kepada keputusan, salah satu tujuan dari pertanyaan-pertanyaan adalah untuk mengikutsertakan staf program dalam proses evaluasi
b)      Taksonomi yang diidentifikasi sebagai suatu standar untuk definisi dari program merupakan daftar kategori. Standar yang sesungguhya, seperti jumlah dan waktu pelatihan para guru harus dikembangkan ditempat lain.

h.      Model Evaluasi Sistem Analisis
Suatu sistem program terdiri dari sejumlah unit, dimensi atau subsistem program yang masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Setiap unit diikat dengan ikatan sinergis yang mengikat setiap unit menjadi kesatuan program. Fungsi dari ikatan sinergi adalah :
a)      Mengikat semua unit menjadi suatu kesatuan sistem agar aktivitas-aktivitasnya dapat bergerak secara bersama-sama ke arah tujuan program.
b)      Menciptakan sinergi positif, yaitu produksi semua unit program yang bekerja dalam sistem program lebih besar daripada produksi masing-masing unit dijumlahkan jika tidak bekerja dalam kesatuan sistem program.
Model evaluasi sistem analisis terdapat empat jenis evaluasi. Dibawah ini dibahas kelima jenis evaluasi tersebut dengan contoh aplikasinya dalam program keluarga berencana (PKB) :
a)      Evaluasi masukan. Dalam evaluasi sistem analisis dilakukan evaluasi masukan. Tujuannya dari evaluasi masukan adalah untuk menjaring, menganalisis dan menilai kecukupan kuantitas masukan yang diperlukan untuk menganalisis dan menilai kecukupan kuantitas dan kualitas masukan yang diperlukan untuk merencanakan dan melaksanakan PKB
b)      Evaluasi proses. Evaluasi proses memfokuskan pada pelaksanaan program dan sering menyediakan informasi mengenai kemungkinan program diperbaiki.
c)      Evaluasi keluaran. Evaluasi keluaran mengukur dan menilai keluaran daripada program yaitu produk yang dihasilkan program.
d)     Evaluasi akibat (outcome evaluation). Evaluasi aibat mengukur apakah klien yang mendapat layanan program berubah.
e)      Evaluasi pengaruh (impact evaluation). Evaluasi pengaru menilai perubahan yang terjadi terhadap klien atau para pemangku kepentingan sebagai akibat dari intervensi yang dilakukan  program.

i.        Model Evaluasi Bechmarking (Bangku Ukur)
Bachmarking adalah suatu proses mengevaluasi dan membandingkan objek benchmarking. Pada prinsipnya benchmarking menyediakan potret kinerja organisasi dan posisinya dalam hubungan standar tertentu. Suatu organisasi yang melakukan benchmarking mengukur kinerjanya dengan standar kinerja tertentu, dapat kinerja standar dalam jenis industry tertentu atau kinerja organisasi yang lainnya yan dianggap terbaik, kemudian berupaya menyamakan kinerjanya dengan kinerja standar tersebut melalui aktivitas atau proyek.
Jenis evaluasi benchmarking :
a)      Process benchmarking. Organisasi memfokuskan benchmarking pada proses kegiatannya dengan tujuan mengidentifikasi dan mengobservasi praktik terbaik satu atau lebih organisasi lain yang menjadi benchmark atau tolok ukur benchmarking.
b)      Financial benchmarking. Melakukan analisis finansial terhadap keuangan organisasi dan membandingankan hasilnya dengan standar finansial organisasi sejenis yang menjadi benchmark.
c)      Product benchmarking. Menganalisis produk (barang dan jasa) organisasi kemudian membandingkan dengan produk (barang dan jasa) organisasi yang menadi benchmark. Hasilnya menentukan posisi kompetitif produk (barang dan jasa) baru agar menyamai produk organisasi yang menjadi benchmark.
d)     Functional benchmarking. Organisasi sering memfokuskan benchmarkingnya pada salah satu fungsi manajemennya dari fungsi manajemen yang komplek.
e)      Performance benchmarking. Organisasi mengevaluasi kinerja organisasi, dalam pengertian kinerja akhir organisasi.
Demikian ada sejumlah langkah yaitu :
a)      Mengidentifikasi objek benchmarking. Dalam fase ini mengevaluasi objek dari benchmarking yang tergantung pada kelima jenis benchmarking seperti diuraikan diatas.
b)      Mengidentifikasi organisasi lain yang sama. Mengidentiikasi organisasi lain yang bisnisnya, proses produksinya, produknya dan sebagainya yang sama dengan organisasi yang akan di benchmasrking.
c)      Mengidentifikasi organisasi yang menjdadi pemimpin. Dari  organisasi yang teridentifikasi ditentukan satu organisasi yang menjadi pemimin, yaitu organisasi yag terbaik.
d)     Mengunjungi organisasi rujukan. Dalam fase ini, tim benchmarking organisasi mengunjungi organisasi rujukan danmelakukan pembicaraan dengan para pemimpin organisasi rujukan serta meminta izin untuk melakukan benchmarking.
e)      Mensurvei praktik terbaik dari organisasi rujukan. Tim benchmarking meneliti organisasi rujukan melalui mensurvei, mengobservasi dan mewawancarai pimpinan organisasi rujukan.
f)       Menyusun rencana benchmarking. Disusun rencana apa yang yang dilakukan untuk menyamai praktik atau fungsi organisasi rujukan’
g)      Melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan rencana. Dilakukan secara formatif dan sumatif.

j.        Model Evaluasi Kotak Hitam (Black Box Evaluation Model)
Semenjak abad ke-20 lahir gerakan konsumerisme di seluruh dunia. Konsumerisme adalah gerakan untuk melindungi hak-hak para konsumen yang selama ini telah di dengar atau dirugikan oleh para produsen dan pelaku usaha. Di Indonesia  misalnya, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 4 Undang-Undang tersebut ditetapkan bahwa konsumen mempunyai hak sebagai berikut:
(a)    Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa;
(b)   Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan/jasa sesuai dengan
(c)    Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa
Untuk melindungi hak konsumen Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan konsumen (pasal 31) dengan membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Kementrian perindustrian juga menetapkan semua produk indonesia wajib mendaftarkan produknya dan dan mendapatkan nomer Standar Industri Indonesia (SII). Demikian juga masyarakat sipil mendirikan organisasi untuk melindungi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Salah satu aktivitas lembaga konsumen tersebut adalah mengevaluasi produk-produk pabrikan yang akan dibeli dan dipergunakan atau dikonsumsi oleh para konsumen. Di negara-negara maju lembaga konsumen misalnya, mengevaluasi mobil, televisi, radio, alat-alat rumah tangga, kasue, dsb. Di negara-negara maju sejumlah pabrik menproduksi piring, magkok sendok, dsb yang bahannya atau hiasannya terbuat dari mas 12 karat. Produk tersebut di evaluasi untuk mengetahui apakah bahannya atau hiasannya memang terbuat dari mas 12 karat atau tidak dan daya tahan pecahnya. Hasilnya diterbitkan dan disebarkan kepada konsumen yang akan membeli produk tersebut. Dengan demikian, konsumen mempunyai informasi yang cukup mengenai produk tersebut yang dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut.
Black box evaluation model sangat menolong para konsumen dalam memberi produk (barang dan jasa). Konsumen sudah mempunyai informasi untuk mengambil keputusan mengenai barang dan jasa yang diperlukannya. Dengan demikian, kemungkinan salah dalam memilih barang dan jasa yang akan dibelinya diperkecil.
Kelemahan black box evaluation model memerlukan banyak ahli mengenai berbagai produk. Karena jenis barang danyak, maka memerlukan memerlukan jenis ahli barang dan jasa banyak jenisnya. Model evaluasi ini juga banyak memerlukan laboraturium, alat ukur dan alat uji yang banyak jenisnya. Di samping itu, juga memerlukan biaya yang cukup besar untuk melakukan evaluasi terhadap barang dan jasa yang jenisnya puluhan ribuan.
k.      Model Evaluasi Konosersip dan Kritikisme
Istilah konosersif berasal dari kata Bahasa Inggris connoisseurship (kata benda), yang biasaya diterjemahkan sebagai konoser, artinya orang yang mempunyai keahlian atau terlatih terutama dalam bidang seni dan mampu bertindak sebagai kritikus atau penilai seni.
Istilah konoser telah lama dipakai untuk keahlian dan penilaian di bidang produk tertentu. Dalam bidang pendidikan istilah konoser diterapkan misalnya dalam bidang kurikulum pendidikan. Berbagai program pendidikan memerlukan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Untuk itu diperlukan pakar kurikulum yang memahami penyusunan dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Dewasa ini konoser merupakan pakar yang ahli dalam bidang tertentu mempunya keahlian dan pengalaman untuk menilai dalam bidang tersebut. Sedangkan konosersif merupakan hasil penilaian dari konoser.
Einser (1975) mendifinisikan konosersif sebagai kemampuan membedakan dengan rinci dan teliti di antara kualitas yang kompleks. Sedangkan kritikisme adalah kemampuan konoser untuk menyingapkan persepsi-persepsi mengenai kualitas tersebut sehingga orang lain yang tidak memiliki level konosersifnya dapat juga memasuki karyanya, melalui kritikisme konoser mengungkapkan kompleksitas kegiatan pendidikan dan mereduksi kegiatan orang lain mengenai presepsi mengenai hal tersebut.
Dalam Model Evaluasi Konosersif, konoser yang berfungsi sebagai evaluator, menjadi katalisator untuk evaluasi dan instrumen utama dan mengarahkan pengumpulan, menganalisis dan mengiterpretasikan data. Walaupun konoser atau evaluator berperan besar, standar yang di capai untuk penilaian mereka berasal terutama pada pengalaman mereka sebagai profesional dan pengalaman kolektif profesi.
Untuk menjadi konoser orang perlu memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:
1)      Pengetahuan. Seorang konoser memerlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai benda atau keadaan yang dinilai. Pengetahuan ini meliputi jenis-jenis, kuantitas dan kualitasnya dan bagaimana sesuatu itu dibuat, terjadi dan berkembang. Untuk ini seorang konoser harus mempunyai pendidikan formal mengenai hal tersebut. Misalnya, untuk menjadi konoser kurikulum, orang harus mempunyai pendidikan formal di perguruan tinggi mengenai kurikulum
2)      Pengalaman. Seorang konoser memerlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai bidang kerjanya. Ia bukan saja yang menguasai teori, melainkan juga seorang praktisi yang telah melaksanakan pekerjaannya sehingga ia mempunyai kompetensi tinggi mengenai tugs dan profesinya.
3)      Pengakuan. Seorang konoser memerlukan pengakuan dari masyarakat atau asosiasi konoser yang umumnya dalam bentuk sertifikasi.
Penggunaan konosersif dalam evaluasi pendidikan dilakukan pertama kali oleh Ellio W. Einser pada tahun 1976, seorang yang mempunyai latar belakang pendidikan kesenian, ia menggunakan istilah educational connoseurship and criticism (konosersif dan kritikisme).  Ia menyatakan bahwa konosersif merupakan seni mengapresiasi sedangkan kritikisme merupakan seni penyingkapan.
Prosese evaluasi konosersif diantaranya;
1)      Tim evaluator memilih sempel pakar. Untuk menilai suatu kebijakan, program atau proyek sering memerlukan sejumlah keahlian. Misalnya, untuk menilaisuatu program pendidikan diperlukan pakar pendidikan, pakar psikologi dan pakar sosiologi. Untuk menilai program pengentasan kemiskinan diperlukan pakar sosiologi, pakar antropologi dan pakar ekonomi. Evaluator peperlu mengidentifikasi jenis pakar tersebut yang tersedia, kemudian memilh pakar yang paling berpengalaman untuk setiap jenis kepakaran.
2)      Tim evaluator melakukan penelitian. Tim evaluator menjaring, mentabulasi dan menganalisis data mengenai kebijakan, program atau proyek.
3)      Hasil penelitian diserahkan kepada pakar. Hasil penelitian diserahkan kepada para pakar dan meminta pendapat penelitian dari para pakar. Untuk ini para pakar dapat di kumpulkan di suatu temapat (hotel) atau tetap berada di tempatnya. Jika pakar tetap berada di tempatnya, dapat digunakan media internet atau teleconference untuk berkomunikasi.
4)      Tim evaluator brupaya mendapatkan kesepakatan dari para pakar. Seringkali para pakar mempunyai pendapat dan penilaian yang berbeda mengenai data dan hasil informasi yang diserahkan kepadanya. Misalnya dari 6 pakar yang menilai terdapat 5 pendapat. Dalam keadaan seperti ini Tim Evaluator berupaya untuk mendapatkan kesepakatan diantara para pakar tersebut. 
5)      Hasil evaluasi. Sering para pakar tidak dapat mencapai kesepakatan akhir pendapat dan penilaian mengenai hasil dan evaluasi. Dalam keadaan seperti ini Tim evaluator menyusun hasil evaluasi berdasarkan perbedaan pendapat tersebut.
Model evaluasi ini mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan proses lebih saintifik jika dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Tim evaluator melakukan evaluasi menggunakan desain dan metode saintifik kepada para pakar. Hasilnya dimintakan pendapat dan penilaian saintifik kepada para pakar. Sering suatu program dalam merencanakan dan melaksanakannya memerlukan para pakar berbagai bidang ilmu. Misalnya proyek lahan gambut sejuta hektar, proyek suku anak dalam, program sekolah satu atap dan program masyarakat mandiri memerlukan para pakar dari berbagai bidang ilmu untuk merancang, melaksanakan dan mengevaluasinya.
Sedangkan kelemahannya adalah, yang pertama memerlukan waktu dan biaya lebih banyak dari model evaluasi lainnya. Kedua, evaluator fungsinya hanya menjaring dan menganalisis data bukan penentu akhir dari hasil evaluasi. Kelemahan ini dapat dihindari jika para pakar langsung menjadi anggota Tim Evaluator bukan berada di luar Tim Evaluator.
l.        Model Evaluasi Terfokus Utilisasi
Michael Quinn Patton (1997; 2002) mengemukakan Model Evaluasi Berfokus Utilisasi. Utilisai Evaluasi yang artinya pemakaian evaluasi untuk pengambilan keputusan oleh orang atau lembaga yang dituju oleh evaluasi. Menurut Patton, Utilization-focused evaluation bukanlah model formal atau resep untuk melaksanakan evaluasi, melainkan suatu pendekatan, suatu orientasi dan satu set pilihan untuk merancang dan melaksanakan evaluasi. Evaluator yang aktif, reaktif dan adaptif memilih diantara pilihan-pilihan ketika bekerja dengan pengambil keputusan dan para pemakai informasi sepanjang proses evaluasi.
U-FE dimulai dengan premis bahwa evaluasi harus dinilai berdasarkan utilitasnya dan pemakaian yang sesungguhnya. Para evaluator harus memfasilitasi proses dan desain setiap evaluasi dengan pertimbangan yang hati-hati, apa yang dilakukan dari awal sampai akhir akan memengaruhi pemakaiannya. Pemakaian berkaitan dengan bagaimana orang akan memakai temuan evaluasi dan pengalaman dalam proses evaluasi. Oleh karena itu, fokus U-FE adalah pada pemakaian yang dituju oleh para pemakai yang dituju.
U-FE sangat personal dan situasional tinggi. Fasilitator evaluasi mengembangkan suatu hubungan dengan para pemakai yang dituju untuk membantu merekam jenis evaluasi apa yang mereka butuhkan. Hal ini memerlukan negosiasi dimana evaluator menawarkan suatu menu kemungkinan-kemungkinan di dalam kerangka standar-standar dan prinsip-prinsip evaluasi yang teruji.
U-FE tidak membela suatu isi, model, metode, teori, bahkan pemakaian evaluasi tertentu melainkan proses untuk membantu para pemakai primer yang dituju untuk situasi khusus mereka. Peresponan situasional memandu proses interaktif antara evaluator dengan para pemakai evaluasi primer yang dipakai. U-FE dapat termasuk setiap tujuan evaluasi (formatif, sumatif developmental), setiap jenis data (kuantitatif, kualitatif, campuran), setiap desain (naturalistik, eksperimental), dan setiap fokus (proses, pengaruh, akibat, cost benefit, cost effectiveness). U-FE merupakan suatu proses untuk membuat keputusan-keputusan mengenai isu-isu tersebut dalam kolaborasi dengan kelompok-kelompok yang teridentifikasi dari para pemakai dan memfokuskan pada pemakaian-pemakaian mereka yang teridentifikasi.
Para pemakai yang dituju lebih mungkin untuk memakai evaluasi jika mereka memahami dan merasa memiliki evaluasi dan temuannya. Mereka lebih mungkin memahami dan merasa memiliki jika mereka telah aktif ikut serta dalam evaluasi. Dengan aktifnya mereka, evaluator melatih para pemakai dalam memakai, mempersiapkan landasan pemakaian, dan menguatkan utilitas yang dituju dari evaluasi setiap langkah sepanjang evaluasi.

m.    Akteditasi
Akreditasi adalah evaluasi proses menilai lembaga yang menyajikan jasa apakah sesuai dengan standar yang telah ditentukan. Contoh dari lembaga penyaji jasa tersebut antara lain sekolah, perguruan tinggi, hotel, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, travel biro, perbankan dan perusahaan angkutan. Tujuan daripada akreditasi ini adalah untu melindungi pemakai jasa yang dibutuhkan dengan baik. Untuk itu lembaga penyaji jasa harus memenuhi standar tertentu; standar fasilitas layanan; standar tenaga yang melayani jasa; standar proses layanan; dan standar kualitas dan kuantitas layanan. Dengan memenuhi kriteria-kriteria standar-standar tersebut tidak akan terjadi malfungsi daam melayani klien.
Di Indionesia, Kementrian Pendidikan dalam Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyususn 8 Standar Nasional Pendidikan yang terdiri dari:
1)      Standar kompetensi lulusan
2)      Standar isi
3)      Standar proses
4)      Standar pendidik dan tenaga kependidikan
5)      Standar sarana dan prasarana
6)      Standar pengelolaan
7)      Standar pembiayaan pendidikan
8)      Standar penilaian pendidikan
Akreditasi lembaga pendidikan dilakukan dengan menilai lembaga pendidikan dengan kedelapan standar tersebut. Proses akreditasi secara umum antaralain:
1)      Lembaga penyaji jasa melakukakan evaluasi/studi diri. Studi dilakukan oleh suatu tim untuk mengumpulkan data mengenai semua aspek yang dipersyaratkan oleh standar akreditasi untuk melayani jasa kepada klien. Misalnya, tenaga profesional, peralatan, bahan-bahan, proses layanan, ruangan, aktu layanan, dan standar layanan. Studi diri harus dilakukan secara jujur tidak mengada-ngada.
2)      Hasil evaluasi diri diserahkan pada tim asesor. Tim asesor beranggotakan para pakar bidang tertentu yang memahami semua aspek layanan yang disajikan oleh lembaga penyaji layanan yang akan diakreditasi. Mereka mewakili lembaga akreditasi untuk mengevaluasi hasil studi diri lembaga penyaji layanan jasa.
3)      Tim asesor meneliti evaluasi diri. Tim asesor datang ke lembaga penyaji jasa dan mengumpulkan informasi mengenai semua aspek layanan jasa. Meneliti kebenaran evaluasi diri dengan membandingkannya dengan data/informasi tersebut. Temuan dinilai berdasarkan berdasarkan Standar Akreditasi.
4)      Temuan dan penilaian asesor diserahkan kepada lembaga akreditasi. Tim asesor merupakan alat dari lembaga akreditasi untuk meneliti pemenuhan Standar Layanan.  Lembaga akreditasi dapat merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah – di Indonesia Badan Akreditasi Nasional – dapat pula merupakan asosiasi profesi.
5)      Keputusan Lembaga Akreditasi. Asesor mempresentasikan hasil penilaiannya dimuka sidang Lembaga Akreditasi. Lembaga ini kemudian mengambil keputusan, antara lain;
a)      Terakreditasi penuh. Lembaga penyaji jasa mendapatkan nilai akreditasi tinggi.
b)      Terakreditasi bersyarat. Lembaga penyaji jasa dalam waktu enam bulan harus berupaya memenuhi standar layanan. Jika dalam waktu tersebut tidak dapat memenuhinya, maka lembaga tersebut menjadi tidak terakreditasi.
c)      Tidak teradekritasi. Lembaga penyaji jasa tidak memenuhi standar akreditasi dan predikatnya buruk.
Di Indonesia Indonesia akreditasi Lembaga Pendidikan Tinggi dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional. Jika di Amerika Serikat asesor memerlukan waktu sampai sepuluh hari untuk mengevaluasi program studi yang diakreditasi, di Indonesia hanya dilakukan 1-2 hari. Keputusan mengenai akreditasi adalah: Terakreditasi dengan nilai A; Terakreditasi dengan nilai B; Terakreditasi dengan nilai C; dan Tidak Terakreditasi. Dapat dikatakan di Indonesia belum pernah ada program studi yang tidak terakreditasi.
n.      Theory-driven Evaluation Model
Seperti telah dibahas di atas, konsep theory-driven evaluation- evaluasi berbasis teori. Teori ini disususn berdasarkan asumsi bahwa intervensi program harus diekspresikan berdasarkan hubungan kausal atau teori program. Huey-Tsych Chen dan Peter Rossi (1980) menyatakan bahwa program-program mempunyai sejumlah pengaruh yang tidak perlu sama dengan maksud pendesain atau administrator program, akan tetapi berbeda dengan pendekatan tersebut dan menyarankan cara di mana pengaruh seperti itu mungkin diketahuai.
Aplikasinya dalam proses evaluasi terdiri dari:
1)      Mempelajari program. Evaluator mempelajari program secara rinci dan bertemu dengan pimpinan, staf program dan para pemangku kepentingan yang mendapatkan layanan program dan mereka yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh program. Dari sini teridentifikasi tujuan program, sumber-sumber, intervensi program, para pemangku kepentingan program, aktivitas program, fokus dan cakupan evaluasi.
2)      Menyusun teori program. Yaitu menyusun logika program, perubahan yang ingin dicapai oleh program, layanan atau intervensi program, standar-standar tolok ukur untuk mengukur akibat dan pengaruh program dan standar evaluasi yang akan dipergunakan. Setiap program bersifat unik karenanya teori suatu program berbeda dengan program lainnya.
3)      Menyusun desain evaluasi. Desain evaluasi terdiri dari teori program dan meteode penelitian. Teori program menentukan bagaimana proses evaluasi akan dilaksanankan. Metode penelitian menentuka jenis informasi yang akan dijaring; sumber informasi yang diperlukan; memilih metode penelitian: kualitatif, kuantitatif atau campuran, dan instrumen untuk menjaring data. Semua informasi dituangkan dalam proposal evaluasi.
4)      Pelaksanaan evaluasi. Menjaring data, tabulasi dan analisis data, menyusun laporan hasil evaluasi termasuk jika dilakukan evaluasi formatif dan sumatif.
5)      Hasil evaluasi. Menyusun hasil evaluasi yang dapat berupa hasil evaluasi formatif dan hasil evaluasi sumatif. Hasil ini dibahas dengan pimpinan dan staf program untuk mengecek mengenai kemungkinan adanya data/informasi yang bertentangan. Kemudian dilakukan evaluasi meta untuk menentukan apakah nilai dan manfaat hasil evaluasi tinggi atau rendah. Hasil evaluasi meta menentukan apakah dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan atau tidak.
6)      Pemanfaatan hasil evaluasi. Membantu pimpinan dan staf program dalam memanfaatkan hasil evaluasi untuk mengambil keputusan mengenai program.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa model evaluasi adalah model desain yang dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi yang biasanya dinamakan sama dengan atau tahap pembuatannya.
Adapun jenis model-model evaluasi yaitu, model evaluasi berbasis tujuan, model evaluasi berbasis bebas tujuan, model evaluasi formatif dan sumatif, model evaluasi responsive, model evaluasi context, input, process, product (CIPP), model evaluasi adversary, model evauasi ketimpangan, model evaluasi sistem analisis, model evaluasi benchmarking (bangku ukur), model evaluasi kotak hitam, model evaluasi konosersip dan kritikisme, model evaluasi terfokus utilisasi, akreditasi, theory-driven evaluation model, dan model evaluasi semu.
B.     Saran

Sebagai seorang evaluator yang profesional hendaknya kita memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang apa yang dimaksud dengan evaluasi dan apa saja jenis dari model-model evaluasi. Sehingga kita dapat melaksanakan evaluasi dengan baik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karakteristik Evaluasi Pembelajaran

Media Pembelajaran Dengan Permainan Kartu